1. Pendahuluan
Dalam uraian singkat mengenai kebebasan berkontrak dan kedudukan yang seimbang dalam suatu perjanjian tidak dapat kita bicarakan lepas dari asas-asas perjanjian lainnya. Dapat dikatakan bahwa karena sistem hukum perdata kita menganut sistem terbuka, maka setiap kata sepakat (consensus) yang terjadi diantara para pihak (kebebasan berkontrak) menimbulkan perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat diantara pihak-pihak tersebut (kekuatan mengikat). Hal-hal apa saja yang membatasi kebebasan berkontrak dan kapan dapat dikatakan
bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian adalah seimbang ?
Pembatasan terhadap kebebasan berkontrak disebabkan diantaranya karena adanya cacat dalam tercapainya kata sepakat, seperti adanya unsur paksaan, keliru dan tipuan, bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan dan kepentingan umum. Disamping itu ketentuan undang-undang dapat pula membatasi kebebasan berkontrak. Perkembangan yang terjadi dalam dunia hukum kontrak bahwa penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dapat pula menjadi salah satu alasan untuk membatalkan kontrak sebagaimana telah dicantumkan dalam BW Nederland yang baru dalam Pasalnya 3:44. Hal ini belum diatur dalam hukum kontrak kita.
Uraian ini akan menjelaskan apa arti penjabaran penyalahgunaan keadaan menurut doctrine dan hubungannya dengan kedudukan yang seimbang sehingga para notaris dapat bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan adanya hal tersebut dalam dunia kontrak kita.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Di dalam literatur biasa disebutkan asas-asas hukum kontrak yang klasik adalah :
- Kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perd)
- Konsensualisme
- Kekuatan mengikat (Pasal 1331 KUH Perd)
Asas bahwa orang bebas untuk mengadakan kontrak dengan siapapun menyimpulkan adanya
kebebasan dari seseorang untuk dapat melakukan hubungan khususnya dalam bidang hukum. Asas ini malahan oleh beberapa ahli hukum dianggap bukan saja sebagai suatu hak subyektif tetapi merupakan suatu hak asasi manusia untuk dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya maupun untuk mengurus harta kekayaannya (Asser-Hartkamp, Verbintenissenrecht, 1989, p.40).
Dilain pihak masyarakat menuntut adanya pembatasan-pembatasan tertentu atas hak tersebut demi kepentingan umum. Kebebasan berkontrak biasa digambarkan sebagai kebebasan untuk atas kepentingan sendiri dan demi pengalamannya sendiri menentukan untuk mengadakan kontrak tersebut, kapan dan dengan siapa serta dengan memakai isi kontrak yang diinginkannya.
Kebebasan berkontrak dalam arti kata materiil berarti bahwa para pihak bebas mengadakan kontrak mengenai hal yang diinginkannya asalkan causanya halal. Kebebasan berkontrak dalam arti kata formil adalah perjanjian yang terjadi atas setiap kehendak dari para pihak, dengan lain perkataan setiap kata sepakat yang tercapai diantara para pihak (konsensus) dapat menimbulkan perjanjian atau disebut consensualiteit. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa pada permulaan abad ini makin banyak pemerintah ikut campur dalam bidang hukum perdata, seperti adanya Undang-undang Perburuhan (1907 Bld) , Peraturan mengenai Sewa Beli (1936 Bld), Peraturan Standar (Pasal 6:214 BW.Bld) yang mengakibatkan bahwa kebebasan berkontrak sudah makin berkurang dan berarah menjadi hukum kontrak yang direglementasikan (J.H.M. van
Erp.Contract als rechtbetrekking, 1990, hlm 13.)
Beberapa pengarang (Gras, Bakels) yang dikutip oleh van Erp mensinyalir bahwa kebebasan berkontrak yang klasik dibatasi oleh kontrak standard, dimana kontrak yang dibuat secara masal dan uniform bagi satu pihak adalah hanya merupakan tindakan perusahaan (bedrijfshandeling) saja sedangkan bagi pihak lainnya merupakan keikutsertaannya sebagai anggota masyarakat dalam suatu kontrak. Klausula-klausula dalam kontrak tersebut sering kali disusun oleh pihak yang kuat dan pihak lawan hanya menyetujui.
3. Ajaran Causa dan Nilai Tukar Yang Sama (gelijkwaardigheid)
Pada umumnya orang mengadakan atau bersedia untuk melakukan kontrak diantaranya karena dipengaruhi oleh adanya kesamaan dalam nilai (waarde) dari prestasi-prestasi yang telah disetujui oleh para pihak. Anggapan adanya persamaan mutlak dilihat dari segi sosial ekonomis diantara para pihak adalah jarang ada, yang kita lihat sehari-hari adalah persamaan kesempatan untuk berkontrak. Apa akibat perjanjian tersebut apabila ternyata prestasi tersebut tidak sama nilainya. Apakah ketidaksamaan nilai prestasi tersebut yang baru diketahui kemudian hari dapat menjadi sebab cacatnya perjanjian tersebut ? Atau apakah pihak-pihak dapat menggunakan alasan bahwa salah satu pihak telah menyalahgunakan keadaan (misbruik van omstandigheden) ?
Contoh I : Seseorang (A) menukarkan sebuah mobil volvonya tahun 1993 kepada B dengan seekor burung perkutut. Menurut nilai awam yang tidak mengenal akan burung perkutut tersebut tentunya akan menyimpulkan prestasi tersebut tidak sama nilainya.
Contoh II : Seseorang (C) menjual rumahnya kepada D dengan harga Rp.10.000.000,- yang sebetulnya bernilai Rp.150.000.000,- Pada umumnya motivasi seseorang untuk melakukan suatu perjanjian, seperti penukaran dan penjualan tersebut diatas adalah dengan tujuan agar keadaan orang tersebut dengan melakukan perjanjian menjadi lebih baik.
A merasa bahwa memiliki burung perkutut tersebut baginya lebih menyenangkan daripada mobil volvonya, dilain pihak B merasa memiliki mobil volvo 1993 adalah lebih menguntungkan daripada burung perkutut tersebut. C memang bertujuan untuk menghibahkannya kepada D, tetapi dengan alasannya sendiri memilih bentuk jual beli tersebut. Masalahnya sekarang adalah apakah pada perjanjian tersebut nilai tukarnya (ruilwaardigheid) ada. Kalau kita melihat pada causanya, jelas bahwa causa dari kedua contoh diatas adalah halal, sedangkan motif dari masing-masing yaitu mengapa melakukan perjanjian tersebut sulit untuk diketahui dalam tercapainya kata sepakat diantara para pihak.
Dalam hal ini terdapat persamaan dalam sistem hukum continental maupun pada sistem hukum Anglo-Amerika dimana dikenal apa yang disebut a good consideration, yaitu tanpa adanya consideration menyebabkan perjanjian tidak mempunyai akibat hukum. In order to decide what a promise should be enforced the courts have traditionally examined the consideration for a promise, i.e. the reasons for which and the circumstances in which it is givven (…) (P.S Atiyah, An introduction to the law of contract, 1975, hlm 62).
Dengan lain perkataan menurut sistem hukum Anglo-Amerika pada setiap contract perlu adanya prestasi yang berhadapan dengan prestasi atau dikenal dengan a promise against a promiseyang sejak abad 16 dikenal dengan nama consideration tersebut. Perjanjian cuma-cuma, seperti pada perjanjian hibah hanya mempunyai akibat hukum apabila dituangkan dalam suatu deed. Pada sistem hukum continental diperlukan adanya causa yang diambil dari hukum romawi (Pasal 1320 KUH Perd) yang sekarang dalam bidang hukum kebendaan telah berkembang menjadi asas kebebasan berkontrak. (C.A.Venema, Van Common en Civil Law, 1971, hlm 125).
Menurut BW Belanda yang baru causa tidak lagi merupakan salah satu syarat untuk sahnya perjanjian. Doktrin sendiri terpecah pendapatnya mengenai perlu tidaknya ruilwaardigheid yang sama nilainya (gelijkwaardig) dalam suatu perjanjian. Ada pendapat yang menolak bahwa adanya hubungan yang tidak serasi diantara pihak dalam suatu perjanjian sudah menyebabkan alasan untuk membatalkan perjanjian.
Di samping itu Kamphuisen berpendapat bahwa perlu pula untuk mem perhatikan tuntutan
terhadap prestasi yang kira-kira sama (approximatieve gelijkwaardigheid der prestatie) untuk sebagai salah satu dasar dari suatu perjanjian (WPNR 3316). Demikian pula G.J Sscholten dalam disertasinya (De oorzaak van de verbintenis uit overeenkomst, 1934) berpendapat bahwa di dalam ajaran mengenai causa terdapat titik pertautan dan merupakan suatu alasan untuk mempengaruhi para hakim agar tuntutan adanya approximatieve aequivalentie dari prestasi di dalam suatu perjanjian perlu ada.
4. Ius Pretium
Kita melihat sejenak pada ajaran iustum pretium, suatu ajaran yang mendasarkan pada anggapan adanya harga yang adil (rechtvaardige prijzen) dalam suatu perjanjian. Harga merupakan norma yang kritis untuk penentuan sahnya suatu perjanjian yang mengharuskan adanya prestasi yang diukur dengan norma harga yang sama nilainya. Nilai yang objektif yang bebas dari mekanisme pembentukan harga dari benda dan jasa adalah relatif sedikit. Hanya pada penentuan harga dari pemerintah dapat terjadi harga yang objektif. Justru yang terjadi sehari-hari adalah pembentukan mekanisme harga yang sangat dipengaruhi oleh subjektivitas dari pihak-pihak. Kriteria yang objektif untuk penentuan harga tidak ada, harus cukup puas dengan harga yang pantas, dimana harga yang pantas pun tetap sifatnya subjektif.
5. Penghalusan Hukum (Rechtsverfijning)
A dan B mendirikan persekutuan maatschap yang memperjanjikan pemberian kemungkinan kepada A untuk mengambil seluruh keuntungan perseroan.
Adilkah perjanjian tersebut ?
Menurut pembuat undang-undang perjanjian tersebut tidak adil sebagaimana dikatakan dalam ketentuan Pasal 1635 ayat (1) KUH Perd :
Janji dengan mana kepada salah seorang sekutu dijanjikan semua keuntungan, adalah batalBagaimana apabila B memang berkeinginan untuk memberikan seluruh keuntungannya kepada A ?
Demikian pula apabila C dan D dalam melaksanakan pemisahan dan pembagian harta warisan ternyata D dirugikan lebih daripada ¼ bagiannya yang menurut Pasal 1112 ayat (3) KUH Perd, hal tersebut dapat dibatalkan. (Suatu pemisahan harta peninggalan dapat dibatalkan : (--)3.
Karena salah seorang dirugikan untuk lebih dari seperempat bagiannya).
Pertanyaan yang sama dapat pula diajukan : Bagaimana bila memang C dengan sadar hendak menguntungkan D dalam pembagian harta peninggalan tersebut. Hoge Raad ternyata berpendapat bahwa : Ketidakadilan dari persekutuan societas leonina tidak terletak pada hasilnya yaitu pembagian keuntungan yang tidak sama (nihil beding) tetapi pada cara terjadinya (HR 31 Oktober 1956, NJ 11957, 333). Hal yang sama kita lihat pada pembagian harta peninggalan yang mengikuti pendapat Meijers bahwa Pasal 1112 ayat (3) tersebut hanya dapat digunakan apabila terdapat kekeliruan dan penyalahgunaan keadaan (HR 30 Oktober 1970, NJ, 98).
6. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)
Menurut BW Belanda yang baru (sejak Januari 1992) perjanjian dapat dibatalkan apabila salah satu pihak dalam melakukan perjanjian tersebut berada dalam keadaan darurat atau terpaksa, atau dalam keadaan dimana pihak lawannya mempunyai keadaan psychologis yang lebih kuat dan menyalahgunakan keadaan tersebut dalam membuat perjanjian tersebut (Pasal 3 : 44 BW.Bld)
Penyalahgunaan keadaan merupakan salah satu cacat dalam kata sepakat disamping adanya cacat lainnya seperti adanya paksaan, keliru dan tipuan.
Sebelum adanya Pasal tersebut maka Hakim dalam memutuskan perkara dimana terdapat keadaan penyalahgunaan keadaan akan memutuskan berdasarkan adanya keadaan yang bertentangan dengan kesusilaan.
Seseorang yang berada dalam keadaan terpaksa (noodtoestand) menimbulkan adanya kemungkinan orang tersebut dikuasai oleh pihak lawan yang psychologis dan ekonomis lebih kuat atau mempunyai kekuatan monopoli.
Penyalahgunaan keadaan dapat pula terjadi bila seseorang mempunyai masalah kejiwaan seperti ketidakseimbangan mental, tidak pengalaman atau ketergantungan pada orang lain dalam memutuskan sesuatu, atau dalam keadaan dikuasai pihak lawan yang tanpa keadaan tersebut orang tersebut tidak akan melakukan perjanjian tersebut. Masalah yang timbul adalah terjadinya suatu perjanjian dimana pihak yang berada dalam keadaan terpaksa tersebut tidak mengetahui isi perjanjian atau isi perjanjian tersebut seluruhnya ditentukan oleh pihak lawannya.
Contoh-contoh klasik dari keadaan darurat yang diberikan seperti seseorang membeli gandum yang mahal pada masa perang, atau pemilik kapal yang membayar biaya penyelamatan kapal yang tinggi karena takut akan hilangnya seluruh isi kapalnya menunjukan bahwa orang-orang tersebut berada dalam keadaan terpaksa. Apakah semua perjanjian yang terjadi karena keadaan terpaksa menjadi cacat ?
Kalau dua orang putri F dan G yang tinggal bersama-sama dengan ayah mereka yang sudah tua mendapat undangan untuk pergi ke suatu pesta, maka salah seorang harus tinggal di rumah untuk menjaga ayahnya tersebut. Setelah diadakan undian diantara mereka, ternyata F yang menang, maka G tidak dapat berdalih bahwa hal ini tidak adil. Bukankah masing-masing telah mendapat kesempatan yang sama ? Bahwa hasilnya tidak sama adalah masalah lain.
Untuk terjadinya suatu perjanjian diperlukan posisi dari pihak-pihak yang sama. Bahwa akibat dari perjanjian tersebut membawa hasil yang tidak sama bagi para pihak adalah masalah lain.
Disinilah letak moralnya : bahwa prosedur dimana para pihak dalam perjanjian tersebut berdasarkan pada kesempatan yang sama terhadap suatu hasil yang belum diketahui (undian atau terjadinya suatu perjanjian) adalah hal yang adil (rechtvaardig).
Kalau seseorang (A) yang telah lanjut usia menghibahkan seluruh kekayaannya yang bernilai Rp.300.000.000,- kepada B yang sangat dipercaya oleh A. Sebagai prestasinya B akan memberikan uang kepada A sebesar Rp.200.000,- setiap bulannya untuk selama paling lama 12 tahun.
Melihat isi perjanjian tersebut dapat kita melihat adanya ketidakseimbangan dalam nilai prestasi yang diberikan. Melihat pada cara terjadinya perjanjian tersebut: ketidakpengalaman dari A dan kepercayaan A terhadap B. Apakah dalam hal ini dapat dikatakan bahwa causanya tidak halal karena bertentangan dengan kesusilaan?
Hal tersebut ternyata dibenarkan oleh Hoge Raad pada waktu itu yang berpendapat bahwa beding yang menimbulkan keadaan tidak serasi diantara prestasi yang diberikan oleh para pihak, menjadi dasar untuk menyatakan bahwa seluruh beding tersebut bertentangan dengan kesusilaan (HR 13-11-1936, NJ 1937, 433 : dat het beding een wanverhouding tussen de wederzijdse prestaties (…)doet ontstaan, op grond waarvan de rechtbank het geheele beding in strijd met de goede zeden
acht ).
Dapatkah kita menggunakan alasan bahwa B telah menyalahgunakan keadaan ? Apakah penggunaan alasan bahwa B telah menyalahgunakan keadaan hanya dimungkinkan bila terdapat unsur kerugian ?
Didalam hal ini A telah dirugikan, selain adanya hubungan causal antara terjadinya
perjanjian tersebut dengan adanya penyalahgunaan keadaan, yang tanpa keadaan tersebut A tidak akan melakukan perjanjian tersebut. Ternyata unsur kerugian tidak diperlukan untuk penggunaan alasan paksaan, keliru maupun tipuan (Rb Utrecht 7-4-1961, NJ 1962, 179).
Walaupun demikian terdapat sebagian pendapat yang mengatakan bahwa tidak diperlukannya unsur tersebut (A.S Hartkamp), dan pendapat lain yang mengharuskan adanya unsur tersebut (G.J Scholten) untuk penyalahgunaan keadaan. Hoge Raad berpendapat bahwa tanpa adanya penyalahgunaan keadaan, perjanjian tersebut tidak akan terjadi, yang dapat menimbulkan kerugian dalam bentuk apapun juga, dan penyalahgunaan keadaan yang dimaksud akan menyebabkan kerugian pada salah satu pihak, memberi hak kepadanya untuk minta pembatalan atas perjanjian tersebut, walaupun tidak perlu ditentukan mengenai baik ukuran atau bentuk dari kerugian
tersebut (HR 29-5-1964, NJ 1965, 104). Ada hubungan causal antara penyalahgunaan keadaan dengan terjadinya perjanjian yang menimbulkan kerugian. Masalahnya adalah apa yang dimaksud dengan kerugian.
7. Kerugian
Seperti kita ketahui untuk penggunaan alasan adanya unsur paksaan, keliru dan tipuan dalam mengajukan pembatalan suatu perjanjian tidak diperlukan adanya kerugian, cukup dibuktikan bila tanpa adanya hal-hal tersebut perjanjian tidak akan terjadi. Sebetulnya yang menjadi dasar untuk penuntutan adanya cacat terhadap kekuatan mengikat dari suatu perjanjian adalah pada terbentuknya kata sepakat. Jadi tidak perlu adanya unsur tambahan apakah perjanjian tersebut merugikan atau tidak. Dengan lain perkataan semua perjanjian yang terjadi dimana terdapat adanya cacat pada kata sepakat di dalamnya dengan adanya merugikan tanpa melihat isi perjanjian tersebut. Merugikan disini mempunyai arti yang lain dengan kerugian yang tradisionil, yaitu ketidaksamaan dalam nilai pasar (marktwaarde), sedangkan yang dimaksud hanyalah bahwa perjanjian tersebut dipaksakan (opgedrongen). Jadi nadeligheid (kerugian)
disini sama dengan onvrijwilligheid (terpaksa) (J.H Nieuwenhuis, Drie beginselen van contracttenrecht, 1979, hlm 128).
Kerugian di parlemen Belanda hanya disebut bahwa kerugian dalam bentuk apapun juga dan kerugian tidak harus ada dalam perbuatan hukum dalam arti ketidaksamaan antara
prestasi-prestasi atau clausul yang berat sebelah (exoneratie atau onereuze clausules) tetapi dapat pula bersifat subjektif dan idiil. Perdebatan di parlemen Belanda membuahkan hasil bahwa unsur kerugian ternyata tidak dicantumkan dalam Pasal 3 : 44.
Konsekuensi dari penggunaan ajaran asas keadilan, bahwa suatu perjanjian adalah adil apabila prestasi-prestasi yang diperjanjikan adalah sama nilainya. Atau yang dimaksudkan sebaliknya : bahwa prestasi-prestasi yang diperjanjikan itu adil berdasarkan suatu perjanjian yang gelijkwaardig, yaitu perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang sama haknya ?
Nieuwenhuis dalam disertasinya ( Drie beginselen van contractenrecht, 1979, hlm 122)
berpendapat bahwa yang penting bukanlah prestasi yang sama nilainya tetapi hak yang sama dari para pihak dalam cara terjadinya perjanjian yang mereka lakukan. Hijma membedakan antara terjadinya kontrak yang dilarang (verboden sluiten) dan isi kontrak yang dilarang (verboden inhoud).
Perbuatan tidak patut yang dilakukan salah satu pihak tidak menyebabkan kontrak tersebut tidak sah, tetapi dapat dibatalkan ;
Bila cara terjadinya kontrak tersebut ternyata tidak patut maka perlu diteliti apakah isi kontraknya terganggu oleh ketidakpatutan tersebut. Bila tidak terganggu maka kontrak tersebut sah, bila ya, maka kasus posisi menjadi berubah : isi kontraknya yang dilarang.
(Jac.Hijma, Nietigheid en vernietigbaarheid van rechtshandelingan, 1988, hlm 88-89).
Seandainya arti penyalahgunaan keadaan bukan dalam arti ketidaksamaan dalam cara terjadinya perjanjian tersebut, dapatlah dibayangkan ketidakmungkinan adanya kontrak standar (standaardcontracten). Setiap perjanjian dimana konsep perjanjian diajukan oleh salah satu pihak, seperti perjanjian kredit/utang dan hipotik dengan bank akan selalu memberi peluang bagi pihak debitur untuk minta pembatalan dengan alasan penyalahgunaan keadaan. Bukankah debitur dalam keadaan ekonomis lemah atau mereka adalah pihak yang berada dalam kondisi yang terpaksa menyetujui kontrak tersebut karena membutuhkan uang/kredit tersebut ?
Inipun dibenarkan oleh pembuat undang-undang Belanda bahwa inisiatif dari satu pihak atau pembuatan konsep oleh salah satu pihak tidak digolongkan pada penyalahgunaan keadaan (MvA II, hlm 212/3). Mungkin pada suatu jual beli dengan harga di bawah pasar memang penjual bermaksud untuk menguntungkan si pembeli, mungkin pada jual beli dengan hal yang sama si pembeli ternyata telah menyalahgunakan keadaan. Jadi ada tidaknya penyalahgunaan keadaan tidak mungkin untuk menggunakan ukuran yang objektif, masing-masing harus diperiksa secara kasuistis.
8. Sikap Notaris Terhadap Penyalahgunaan Keadaan
Notaris dalam menjalankan jabatannya berperan secara tidak memihak dan bebas, impartiality and independence (onpartijdig dan onafhankelijke rol). Tidak jarang orang bersikap skeptis terhadap hal tersebut, seringkali kita mendengar bahwa notaris X adalah notarisnya si A.
Kemungkinan terjadi bahwa orang ragu-ragu untuk ke notaris X dalam hubungannya dengan A, jangan-jangan nanti dia membela si A. Celaka kalau dikatakan bahwa notarisnya telah membantu menyalahgunakan keadaan dalam pembuatan aktanya dan tentunya lebih celaka lagi kalau notarisnya disalahgunakan oleh para kliennya.
Hal ini sebisanya dihindarkan dan haruslah kita memperlihatkan sikap bahwa memang demikian keadaannya bahwa notaris dalam menjalankan jabatannya itu bebas dan tidak memihak, yaitu dengan jalan memberikan penjelasan dan informasi yang lengkap baik mengenai hak dan kewajiban maupun akibat hukum dari para pihak mengenai kontrak yang akan ditandatanganinya, sehingga dengan demikian masing-masing pihak telah berada dan mendapat hak yang sama dalam terjadinya perjanjian.
Yang menyulitkan adalah bahwa kita biasanya baru mengetahui adanya cacat dalam kata sepakat setelah terjadinya perjanjian tersebut. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa ukuran untuk mengetahui nilai prestasi yang sama tidak ada, sehingga kemungkinan untuk mengetahui apakah salah satu pihak telah menyalahgunakan keadaan sering kali tidak dapat pula diketahui sebelumnya.
Sikap notaris secara formal dalam menghadapi penyalahgunaan keadaan yang belum diatur dalam undang-undang kita adalah sama dengan menghadapi keadaan adanya paksaan, keliru dan tipuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perd, yaitu disamping memberikan penjelasan yang cukup kepada para kliennya, melaksanakan sesuai dengan apa yang diharuskan menurut peraturan jabatan notaris dengan memenuhi segala formalitas pembuatan akta.
Memang mengenai apa yang menjadi motif orang untuk melakukan suatu perjanjian tidak mudah diketahui. Tetapi dengan adanya tuntutan masyarakat yang makin kompleks, para notaris diharap untuk tidak bersikap pasif dengan mengandalkan pada kebenaran formil dari para kliennya tetapi perlu bersikap lebih jeli dan aktif dalam mencari kebenaran materiil dalam pembuatan akta-aktanya untuk menghindari pembatalan terhadap akta-aktanya. Bukankah Prevention is better than cure?
10 Februari 2009
KEBEBASAN BERKONTRAK DAN KEDUDUKAN YANG SEIMBANG DALAM SUATU PERJANJIAN
Label:
Artikel Hukum
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar